Jumat, 28 November 2014

Teori Konstruksi Sosial Realitas, Teori Penetrasi Sosial & Teori Pelabelan

A.     Teori Konstruksi Sosial Realitas (Realistic Social Construction Theory).
Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada hal-hal semacam tinjauan tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas sosialnya.
Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosialyang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4).
Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian – Parsonian tentang “struktur” (melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead tentang “interaksi simbolik”.
Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial
Berger & Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial. Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya tercurah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh  dengan segala aspeknya (kognitif, afektif dan konatif). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus menerus (unlimited).
            Kedua, menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi masyarakat” yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari “dimensi objektif” dan sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat hubungan intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994)
Ketiga, memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis dan memiliki proses perubahan terus menerus. Sehingga diperlukan pendekatan akal sehat “common sense “ untuk mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena itu kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger & Luckmann, 1990)
Arah Pemikiran Teori Konsruksi Realitas Sosial
            Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun  secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).
Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
Internalisasi, lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product).
Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam proses (re)produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang mengeksternalisasi realitas sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.
Dalam kehidupan masyarakat, adanya aturan-atauran dan hukum yang menjadi pedoman bagi  institusi sosial adalah merupakan produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial. Sehingga meskipun peraturan dan hukum itu terkesan mengikat  dan mengekang, tidak menutup adanya kemungkinan terjadi pelanggaran sosial. Hal itu dikarenakan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial. Dalam proses eksternalisasi bagi masyarakat yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan.
Masyarakat dalam pandangan Berger & Luckmann adalah sebuah kenyataan objektif yang didalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun diatas pembiasaan (habitualisation), dimana terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehngga kelihatan polanya dan terus direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka terjadilah pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran, mengendap dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannyadidalam konteks sosial kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya pengalaman yang terendap dalam tradisi diwariskan kepada generasi penerusnya. Proses transformasi pengalaman ini salah satu medianya adalah menggunakan bahasa.
Menurut Berger dan Luckmann ,  realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinyadalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.
Lebih lanjut Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi soaial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataanyasemua dibangun dalam definisi subjketif melalui proses interaksi. Objektifitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lainyang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta membri makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Institusionalisasi muncul bersamaan dengan munculnya tipifikasi (typification : proses menggolongkan sesuatu menjadi tipe-tipe tertentu) oleh orang-orang tertentu yang disebut sebagai aktor. Tipifikasi inilah yang disebut institusi. Tipifikasi ini selalu dibagi oleh sesama anggota kelompok sosial. Tiap institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme kontrol ini sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan sosial bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat konsekuensi hukuman bila menyimpang dari kontrol yang ada.
Institusionalisasi, secara manifest, mengikutsertakan sejumlah orang, di mana setiap orang bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”-nya karena merekalah yang membentuk dunia tersebut. Mereka memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk sendiri.
Dari penjelasan di atas, dap dapat diketahui bahwa pemahaman individu terhadap dunia sekitarnya dan bagaimana perilaku individu yang dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya merupaka sebuah proses dialektis yang terjadi terus menerus diantara mereka. Selain itu, mereka tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, masing-masing dari mereka juga berpartisipasi  dalam keberadaan pihak lain (Bungin, 2001 : 19-20). Baru setelah  mencapai taraf internalisasi semacam ini, individu menjadi anggota masyarakat.
Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger & Luckmann terdiri atas tiga bagian dasar yaitu:
1.      Realitas Sosial Objektif.
Realitas sosial objektif adalah gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
2.      Realitas Sosial Subjektif.
Realitas sosial subjektif adalah realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik.
3.      Realitas Sosial Simbolik.
Realitas sosial simbolik adalah bentuk – bentuk simbolik dari realitas sosial objektif, yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi media (Bungin,2011 : 24)
Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.
Konsep ketiga ini memperjelas konsep yang dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yang hanya menyebutkan adanya penggambaran realitas melalui proses sedimentasi dan penjelasan sebuah realitas melalui proses legitimasi. Sedimentasi adalah proses dimana beberapa pengalaman mengendap dan masuk ke dalam ingatan, memori ini selanjutnya menjadi proses yang intersubjektif bila individu-individu yang berbeda berbagi pengalaman dan gambaran yang sama.
Legitimasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai landasan untuk menginterpretasi realitas objektif dan untuk membantu membuat interpretasi yang dapat diterima secara luas. Dalam proses ini , individu tidak hanya membutuhkan “ a common stock of knowledge “ (sedimentasi), tetapi  juga harus belajar untuk menerima dan menjalankannya sebagai sebuah kenyataan objektif sebagaimana adanya (Berger & Luckmann, 1967).
Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi maupun militer yang berada lebih tinggi dari masyarakat akan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara konstektual. Sistem hukum pada negara-negara Barat telah lama mengasumsikan bahwa individu tahu perilaku apa yang diharapkan oleh penegak masyarakatnya dan bila mereka melanggarnya secara sengaja, merke akan dihukum (Defleur & Ball- Rokeach). Inilah yang menjadi dasar diberlakukannya hukum dan aparat
Penegak hukum sebagai pengawas ketertiban dalam masyarakat.
B.     Teori Penetrasi Sosial (Sosial Penetration Teory)
a.      Pengertian Teori Penetrasi Sosial
Teori Penetrasi sosial adalah teori yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan. Sebelum mengupas proses ini, kita harus terlebih dahulu memahami kompleksitas manusia.
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya.
Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan.  Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”
Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.
Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran sebagai berikut:
Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, dari pada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.
Keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka. Dan juga semakin tidak bersifat timbal balik.
Penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
Depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.
Model Social Penetration Theory (Altman & Taylor, 1973)
Ø  Tahap Pertama (Lapisan Pertama Atau Terluar Kulit Bawang)
Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Maka informasinya bersifat superficial. Informasi yang demikian wujudnya antara lain seperti nama, alamat, umur, suku dan lain sejenisnya. Biasanya informasi demikian kerap mengalir saat kita berkomunikasi dengan orang yang baru kita kenal. Tahapan ini sendiri disebut dengan tahap orientasi.
Ø  Tahap Kedua (Lapisan Kulit Bawang Kedua)
Tahap kedua (lapisan kulit bawang kedua) disebut dengan tahap pertukaran afektif eksploratif. Tahap ini merupakan tahap ekspansi awal dari informasi dan perpindahan ke tingkat pengungkapan yang lebih dalam dari tahap pertama. Dalam tahap tersebut, di antara dua orang yang berkomunikasi, misalnya mulai bergerak mengeksplorasi ke soal informasi yang berupaya menjajagi apa kesenangan masing-masing. Misalnya kesenangan dari segi makanan, musik, lagu, hobi, dan lain sejenisnya.
Ø  Tahap Ketiga (Lapisan Kulit Bawang Ketiga)
Tahapan berikutnya adalah tahap ketiga, yakni tahap pertukaran afektif. Pada tahap ini terjadi peningkatan informasi yang lebih bersifat pribadi, misalnya tentang informasi menyangkut pengalaman-pengalaman privacy masing-masing. Jadi, di sini masing-masing sudah mulai membuka diri dengan informasi diri yang sifatnya lebih pribadi, misalnya seperti kesediaan menceritakan tentang problem pribadi. Dengan kata lain, pada tahap ini sudah mulai berani “curhat”.
Ø  Tahap Keempat (Lapisan Kulit Bawang Keempat)
Tahap keempat merupakan tahapan akhir atau lapisan inti, disebut juga dengan tahap pertukaran yang stabil. Pada tahap tersebut sifatnya sudah sangat intim dan memungkinkan pasangan tersebut untuk memprediksikan tindakan-tindakan dan respon mereka masing-masing dengan baik. Informasi yang dibicarakan sudah sangat dalam dan menjadi inti dari pribadi masing-masing pasangan, misalnya soal nilai, konsep diri, atau perasaan emosi terdalam.
b.      Asumsi Teori Penetrasi Sosial
·         Hubungan-hubungan memiliki kemajuan dari tidak intim menjadi intim
·         Secara umum, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi
·         Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikandiri) dan disolusi
·         Pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan
Dalam teori ini Irwin Altman dan Dalmas Taylor menyatakan empat tahapan proses penetrasi sosial.
v  Orientasi:  Membuka sedikit demi sedikit
Merupakan tahapan awal dalam interaksi dan terjadi pada tingkat publik. Disini hanya sedikit dari kita yang terbuka untuk orang lain.
v  Pertukaran penjajakan afektif : Munculnya diri
Dalam tahap ini, merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari kepribadian seorang individu mulai muncul.
v  Pertukaran afektif : Komitmen dan kenyamanan
Ditandai dengan persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Dalam tahap ini, termasuk interaksi yang lebih “tanpa beban dan santai”.
v  Pertukaran stabil : Kejujuran total dan keintiman
Tahap terakhir ini merupakan tahapan dimana berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan keunikan hubungan yang tinggi.
c.       Konsep Teori
Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk membina relasi lebih lanjut.
Kelemahan dan Kekuatan Teori Penetrasi Sosial
§  Kekuatan Teori Penetrasi Sosial
Salah satu kekuatan dalam teori ini adalah fakta bahwa ia dapat digunakan untuk melihat wajah kedua untuk menghadapi interaksi interpersonal serta interaksi online antara individu. Kekuatan lain melibatkan kegunaan dari teori ini dalam memandang dan menilai resiko dalam suatu hubungan interpersonal tergantung pada jenis hubungan serta tingkat saat pengungkapan diri dan keintiman di dalamnya.
§  Kelemahan Teori Penetrasi Sosial
Kelemahan dari teori ini termasuk fakta bahwa faktor-faktor lain yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pengungkapan diri tidak dinilai. Budaya dan karakteristik demografi seperti jenis kelamin, ras, usia, dan banyak lagi, akhirnya mungkin memiliki efek pada bagaimana seseorang memilih untuk mengungkapkan informasi. Selain itu, juga mungkin sulit untuk menggeneralisasi informasi yang dinilai menggunakan teori ini karena fakta bahwa pengalaman tertentu, nilai-nilai, dan keyakinan dari seorang individu juga mungkin memiliki efek pada cara di mana ia memilih untuk mengungkapkan informasi.
C.     Teori Pelabelan/Labeling Theory.
Teori pelabelan kesepakatan kenakalan remaja dengan efek dari label, atau stigma, pada perilaku remaja. Pelabelan teori menyatakan bahwa masyarakat, dengan menempatkan label pada anak-anak nakal, stigmatizes mereka, yang menyebabkan label negatif untuk anak muda untuk berkembang menjadi sebuah citra diri yang negatif. Sebuah pengadilan hukum, beberapa lembaga lain, keluarga pemuda dan pengawas, dan / atau rekan-rekan pemuda kita beri nama - atau "label" - untuk pemuda, seringkali dalam "upacara degradasi”. Upacara ini mungkin mendengar suspensi dengan kepala sekolah atau dekan sebuah sekolah, sebuah sidang pengadilan, atau hukuman rumah, antara lain.
Pemuda yang diberi label sebagai "penjahat" atau "nakal" dapat memegang nubuatan ini sebagai self-fulfilling - percaya label yang lain menugaskan kepada mereka, sehingga bertindak sebagai label. Seorang pemuda yang takluk pada label kemudian dapat melanjutkan untuk bertindak sebagai suatu tindakan "kriminal" atau sebagai "tunggakan," meninggalkan norma-norma sosial karena ia percaya bahwa ia adalah orang yang buruk dan bahwa ini adalah apa yang orang jahat yang seharusnya lakukan. Frank Tannenbaum menyebut pelabelan sosial yang "dramatisasi kejahatan." Dia berpendapat bahwa ini "mengubah identitas pelaku dari sebuah pelaku kejahatan dengan orang jahat." Label dapat diterapkan secara resmi, oleh lembaga-lembaga sosial (pengadilan, sekolah, dll) maupun informal, oleh kenalan seorang pemuda itu, teman sebaya, dan keluarga. Label ini dapat menjadi positif, atau negatif, dan bahkan bersosialisasi, tapi stigma yang memegang konotasi negatif dan negatif dapat mempengaruhi remaja menjadi perhatian utama teori pelabelan.
Self-penolakan, sendiri-nubuat memenuhi, memainkan peran dalam teori pelabelan sosial. "Self-menolak hasil sikap baik komitmen melemah terhadap nilai-nilai konvensional dan akuisisi motif menyimpang dari norma-norma sosial". Rasa anomie (normlessness) set dan remaja akan membentuk ikatan dengan seperti-minded, tunggakan, rekan-rekan. Rekan ini tunggakan dapat menyebabkan "di remaja's 'penolakan rejectors." Guru bodoh; 'polisi tidak jujur;' orang tua hanya tidak mengerti " Para pemuda bermasalah menjadi menjauhkan dari masyarakat dan menemukan dirinya dalam gaya hidup menyimpang. Pada dasarnya, teori pelabelan sosial menyatakan bahwa remaja mulai percaya mereka adalah orang yang melakukan hal-hal buruk dan diubah menjadi percaya mereka adalah orang jahat.
Pertanyaan utama yang perlu diperhatikan adalah apakah label teori masuk akal: apakah itu memiliki konsistensi logis? Teori ini berpendapat bahwa ada ramalan di mana seorang remaja menjadi negatif berlabel.
Teori Pelabelan memiliki asal-usul dalam bunuh diri, sebuah buku oleh sosiolog Perancis Émile Durkheim. Ia menemukan kejahatan yang tidak begitu banyak pelanggaran hukum pidana karena merupakan tindakan yang outrages masyarakat. Dia adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa label menyimpang fungsi yang memenuhi dan memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mengontrol perilaku.
Sebagai kontributor ke American Pragmatisme dan kemudian anggota Sekolah Chicago, George Herbert Mead mengemukakan bahwa diri secara sosial dikonstruksi dan direkonstruksi melalui interaksi yang setiap orang memiliki dengan masyarakat. Teori label menunjukkan bahwa orang-orang mendapatkan label dari bagaimana orang lain melihat kecenderungan mereka atau perilaku. Setiap individu menyadari bagaimana mereka dihakimi oleh orang lain karena ia telah mencoba berbagai peran dan fungsi dalam interaksi sosial dan telah mampu mengukur reaksi yang hadir.
Hal ini secara teoritis membangun konsepsi subjektif diri, tetapi yang lain menyusup ke dalam realitas kehidupan yang individu, ini merupakan data yang obyektif yang mungkin memerlukan sebuah evaluasi ulang dari konsepsi tergantung pada authoritativeness penghakiman yang lain '. Keluarga dan teman-teman dapat menilai secara berbeda dari orang asing acak. Lebih individu sosial yang representatif seperti petugas polisi atau hakim mungkin dapat membuat lebih global penilaian dihormati. Jika penyimpangan adalah kegagalan untuk mematuhi aturan-aturan yang diamati oleh sebagian kelompok, reaksi kelompok ini adalah untuk label orang memiliki tersinggung terhadap norma-norma sosial atau moral perilaku. Ini adalah kekuatan kelompok: untuk menunjuk pelanggaran aturan mereka sebagai menyimpang dan untuk memperlakukan orang secara berbeda tergantung pada keseriusan pelanggaran. Banyak perbedaan perlakuan, semakin diri individu-gambar terpengaruh.
Pelabelan kekhawatiran teori itu sendiri kebanyakan tidak dengan peran normal yang menentukan hidup kita, tapi dengan peran-peran masyarakat yang sangat khusus yang menyediakan untuk perilaku menyimpang, yang disebut peran menyimpang, peran stigma, atau stigma sosial. Peran sosial adalah satu set harapan kami miliki tentang perilaku. peran sosial yang diperlukan untuk organisasi dan fungsi dari setiap masyarakat atau kelompok. Kami berharap tukang pos, misalnya, untuk mematuhi aturan-aturan tetap tertentu tentang bagaimana dia melakukan tugasnya. "Deviance" untuk seorang sosiolog tidak berarti secara moral salah, melainkan perilaku yang dikutuk oleh masyarakat. Perilaku Deviant dapat mencakup kegiatan kriminal dan non-kriminal.
Peneliti menemukan bahwa peran menyimpang kuat mempengaruhi bagaimana kita memandang orang-orang yang ditugaskan tersebut peran. Mereka juga mempengaruhi bagaimana aktor menyimpang memandang dirinya sendiri dan hubungannya dengan masyarakat. Peran menyimpang dan label yang menyertainya berfungsi sebagai bentuk stigma sosial. Selalu melekat dalam peran menyimpang adalah atribusi dari beberapa bentuk "polusi" atau selisih yang menandai orang yang dilabeli sebagai berbeda dari orang lain. Masyarakat menggunakan peran stigma kepada mereka untuk mengontrol dan membatasi perilaku menyimpang: ". Jika Anda melanjutkan dalam perilaku ini, Anda akan menjadi anggota dari sekelompok orang".
§  George Herbert Mead
Salah satu pendiri interaksionisme sosial, George Herbert Mead difokuskan pada proses internal tentang bagaimana pikiran konstruksi diri seseorang-gambar. Dalam Mind, Self, dan (1934) Masyarakat, dia menunjukkan bagaimana bayi datang untuk mengetahui orang pertama dan hanya kemudian datang untuk mengetahui hal-hal. Menurut Mead, pikiran adalah suatu proses sosial dan pragmatis, berdasarkan model dua orang mendiskusikan bagaimana untuk memecahkan masalah. Citra diri kita, pada kenyataannya, dibangun dari ide tentang apa yang kita pikir orang lain sedang berpikir tentang kami. Sementara kita mengolok-olok orang-orang yang terlihat berbicara sendiri, mereka hanya gagal untuk melakukan apa yang sisa kita lakukan dalam menjaga percakapan internal untuk diri kita sendiri. perilaku manusia, Mead menyatakan, adalah hasil dari makna yang diciptakan oleh interaksi sosial dari percakapan, baik yang nyata dan imajiner.
§  Frank Tannenbaum
Frank Tannenbaum dianggap sebagai kakek dari pelabelan teori. Kejahatan Nya dan Masyarakat (1938), menggambarkan interaksi sosial yang terlibat dalam kejahatan, dianggap sebagai landasan penting kriminologi modern. Sementara kriminal berbeda sedikit atau tidak sama sekali dari orang lain dalam impuls asli untuk pertama melakukan kejahatan, account interaksi sosial untuk tindakan lanjutan yang mengembangkan pola yang menarik bagi sosiolog.
Kerry Townsend menulis tentang revolusi dalam kriminologi akibat kerja Tannenbaum's:
"Akar dari model teoritis Frank Tannenbaum, yang dikenal sebagai" dramatisasi kejahatan "atau teori pelabelan, permukaan di pertengahan sampai akhir tiga puluhan Pada saat ini,. Perundang-undangan 'New Deal' tidak mengalahkan kesengsaraan Depresi Besar , dan, meskipun berkurang, imigrasi ke Amerika Serikat lanjutan (Sumner, 1994). Iklim sosial adalah salah satu dari kekecewaan dengan pemerintah Struktur kelas adalah salah satu isolasionisme budaya;  relativitas budaya belum diambil terus ' masih adanya struktur kelas, meskipun reformasi kesejahteraan dan kontrol atas bisnis besar, adalah salah lagi 'Sekolah Positivis dari kriminologi pikir masih dominan, dan di banyak negara, gerakan sterilisasi sedang berlangsung. Penekanan pada determinisme biologis dan penjelasan internal kejahatan adalah kekuatan unggul dalam teori dari awal tiga puluhan ini dominasi oleh Sekolah Positivis berubah. di akhir tiga puluhan dengan pengenalan dan penjelasan konflik sosial dari kejahatan dan kriminalitas.
"Salah satu prinsip utama teori ini adalah untuk mendorong akhir proses pelabelan. Dalam kata-kata dari Frank Tannenbaum," jalan keluar adalah melalui penolakan untuk menunjukan "jahat, sistem peradilan mencoba untuk melakukan hal ini melalui program-program pengalihan. Pertumbuhan teori dan aplikasi saat ini, baik secara praktis dan teoritis, memberikan dasar yang kuat untuk popularitas lanjutan.
§  Edwin Lemert
Edwin Lemert (1951) yang memperkenalkan konsep "penyimpangan sekunder." Penyimpangan utama adalah pengalaman terhubung ke perilaku terbuka, mengatakan kecanduan obat dan tuntutan praktis dan konsekuensi. penyimpangan sekunder adalah peran yang diciptakan untuk menangani dengan kutukan masyarakat perilaku.
Dengan sosiolog lain waktu, ia melihat bagaimana semua tindakan menyimpang adalah tindakan sosial, hasil dari kerjasama dari masyarakat. Dalam mempelajari kecanduan narkoba, Lemert mengamati kekuatan yang sangat kuat dan halus di tempat kerja. Selain kecanduan fisik pada obat dan semua gangguan ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, ada proses sangat intelektual di tempat kerja mengenai identitas sendiri dan pembenaran untuk perilaku: ". Aku melakukan hal-hal karena saya dengan cara ini".
Mungkin ada motif subjektif dan pribadi tertentu yang pertama mungkin menyebabkan seseorang untuk minum atau menguntil. Tetapi kegiatan itu sendiri memberitahu kita sedikit tentang citra diri seseorang-atau hubungannya dengan aktivitas. Lemert menulis: "perbuatan-Nya yang berulang dan teratur subjektif dan ditransformasikan ke dalam peran aktif dan menjadi kriteria sosial untuk menetapkan status ..... Ketika seseorang mulai mempekerjakan perilaku menyimpang nya atau peran berdasarkan itu sebagai alat pertahanan, serangan, atau penyesuaian untuk terbuka dan masalah rahasia yang diciptakan oleh reaksi masyarakat akibat kepadanya, penyimpangan nya adalah sekunder ".
§  Howard Becker
Sementara itu Lemert yang memperkenalkan konsep-konsep kunci dari teori pelabelan, itu adalah Howard Becker yang menjadi juara mereka. Dia pertama kali mulai menggambarkan proses bagaimana seseorang mengadopsi peran menyimpang dalam studi musisi tari, dengan siapa ia pernah bekerja. Ia kemudian mempelajari pembentukan identitas perokok ganja. Penelitian ini adalah dasar dari Outsiders yang diterbitkan pada tahun 1963. Karya ini menjadi manifesto gerakan teori pelabelan antara sosiolog. Dalam pembukaannya, Becker menulis:
"Kelompok sosial menciptakan penyimpangan dengan membuat aturan yang menciptakan pelanggaran penyimpangan, dan dengan menerapkan peran-peran kepada orang-orang tertentu dan label mereka sebagai orang luar. Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukan kualitas dari tindakan orang yang melakukan, melainkan konsekuensi dari aplikasi dengan lain dari aturan dan sanksi ke 'pelaku. " menyimpang ini adalah salah satu kepada siapa label yang telah berhasil diterapkan;. perilaku menyimpang adalah perilaku bahwa begitu label”.
Sementara masyarakat menggunakan label stigma untuk membenarkan kecaman nya, aktor menyimpang menggunakannya untuk membenarkan tindakannya. Dia menulis: "Untuk meletakkan sebuah argumen kompleks dalam beberapa kata: bukan motif menyimpang yang mengarah ke perilaku menyimpang, itu adalah sebaliknya, perilaku menyimpang dalam waktu menghasilkan motivasi menyimpang”.
D.     Kesimpulan
Dalam memahami teori konstruksi sosial Bergerian, ada tiga momen penting yang harus dipahami secara simultan. Ketiga momen  itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang bagi Berger, memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain. Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat (Berger, 1994:5). Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.
Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan dunia sosial (sebagai produknya), tetap merupakan hubungan yang dialektis. Manusia dan dunia sosialnya berinteraksi satu sama lain, dan produk berbalik mempengaruhi produsennya. Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi merupakan momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus-menerus. Masyarakat adalah produk manusia (society is a human product); masyarakat adalah kenyataan objektif (man is an objective reality); dan manusia adalah produk sosial (man is a social product). Jika dalam proses ini ada satu momen diabaikan maka mengakibatkan terjadinya distorsi. Teori tentang masyarakat konstruksi sosial Bergerian melihatnya dari ketiga momen dialektik itu.
Teori Penetrasi sosial adalah teori yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan. Teori ini dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Irwin Altman dan Dalmas Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Dalam teori ini Irwin Altman dan Dalmas Taylor menyatakan empat tahapan penetrasi sosial yaitu orientasi, pertukaran penjajakan afektif, pertukaran afektif dan pertukaran stabil.
Labeling adalah sebuah teori dimana masyarakat melakukukan pencapan kepada seseorang karena dia telah melakukan  perbuatan menyimpang atau teori dimana masyarakat melakukukan pencapan kepada seseorang karena dia hidup di lingkungan yang kurang baik sehingga dia mendpatkan cap dari masyarakat. Seseorang yang dicap atau dilabeling dapat berubah atau mungkin bahwan akan merasa depresi sehingga kembali melukan penyimpngan lagi.
Sumber Pelansiran:
·         Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
·         Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia(diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization and Consciousness). Yogyakarta: Kanisius.
·         Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES.
·         Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi. Pendekatan, Metode, dan Terapan (Malang: IPTI dan UNM).

·         Jones,  Pengantar Teori-teori Sosial – Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Jakarta; Yayasan Pustaka Obor Indonesia ,2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar