A.
Teori Konstruksi Sosial Realitas (Realistic Social
Construction Theory).
Konstruksi sosial (social construction) merupakan teori
sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu
kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran
teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai
perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak memfokuskan pada
hal-hal semacam tinjauan tokoh, pengaruh dan sejenisnya. Tetapi lebih
menekankan pada tindakan manusia sebagai aktor yang kreatif dan realitas
sosialnya.
Realitas sosial
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah
manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang
lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosialyang dikonstruksi berdasarkan
kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan sebagai
mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia
sosialnya (Bungin, 2001:4).
Teori konstruksi
sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh
pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran
Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl
Meyer), Durkhemian – Parsonian tentang “struktur” (melalui Albert Solomon), dan
Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead tentang “interaksi simbolik”.
Pijakan
Teori Konstruksi Realitas Sosial
Berger & Luckmann
berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka
mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Pertama, mendefinisikan kembali
pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial. Dalam hal ini
teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu
dikonstruksi secara terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya
tercurah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara
menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, afektif dan konatif).
Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan
dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif
dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus
menerus (unlimited).
Kedua, menemukan
metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka
mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi masyarakat” yang implisit
dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa
apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari “dimensi objektif” dan
sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan
kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat hubungan intersubjektifitas)
dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994)
Ketiga, memilih logika yang tepat dan
cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis dan memiliki
proses perubahan terus menerus. Sehingga diperlukan pendekatan akal sehat
“common sense “ untuk mengamati. Maka perlu memakai prinsip logis dan non
logis. Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara
dialektis tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan
beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk
paradoksial. Oleh karena itu kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi
objektif dan subjektif (Berger & Luckmann, 1990)
Arah
Pemikiran Teori Konsruksi Realitas Sosial
Berger
& Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial,
dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun
masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya.
Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif
melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi
dan internalisasi.
Eksternalisasi, yaitu
usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan
eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai
produk manusia (Society is a human
product).
Objektifikasi, adalah
hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi
manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang bisa jadi akan
menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar
dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata).
Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi
kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini
masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial
dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi.
Internalisasi, lebih
merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai
macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap
sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal
bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product).
Eksternalisasi,
objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam
proses (re)produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang
mengeksternalisasi realitas sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan
realitas yang dianggap objektif pun terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses
eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial.
Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas
sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang
diperankannya.
Dalam kehidupan
masyarakat, adanya aturan-atauran dan hukum yang menjadi pedoman bagi
institusi sosial adalah merupakan produk manusia untuk melestarikan keteraturan
sosial. Sehingga meskipun peraturan dan hukum itu terkesan mengikat dan
mengekang, tidak menutup adanya kemungkinan terjadi pelanggaran sosial. Hal itu
dikarenakan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan dengan aturan yang digunakan
untuk memelihara ketertiban sosial. Dalam proses eksternalisasi bagi masyarakat
yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras mungkin untuk
menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan.
Masyarakat dalam
pandangan Berger & Luckmann adalah sebuah kenyataan objektif yang
didalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun diatas
pembiasaan (habitualisation), dimana terdapat tindakan yang selalu
diulang-ulang sehngga kelihatan polanya dan terus direproduksi sebagai tindakan
yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka terjadilah
pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam
kesadaran, mengendap dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannyadidalam
konteks sosial kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya
pengalaman yang terendap dalam tradisi diwariskan kepada generasi penerusnya.
Proses transformasi pengalaman ini salah satu medianya adalah menggunakan
bahasa.
Menurut Berger dan
Luckmann , realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan
kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas
sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan
dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas
itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan
merekonstruksinyadalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan
subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.
Lebih lanjut Berger
dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan
atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan
institusi soaial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataanyasemua dibangun
dalam definisi subjketif melalui proses interaksi. Objektifitas baru bisa
terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lainyang
memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling
tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu
pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur
bentuk-bentuk sosial serta membri makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Institusionalisasi
muncul bersamaan dengan munculnya tipifikasi (typification : proses
menggolongkan sesuatu menjadi tipe-tipe tertentu) oleh orang-orang tertentu
yang disebut sebagai aktor. Tipifikasi inilah yang disebut institusi.
Tipifikasi ini selalu dibagi oleh sesama anggota kelompok sosial. Tiap
institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme kontrol ini
sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan
sosial bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat
konsekuensi hukuman bila menyimpang dari kontrol yang ada.
Institusionalisasi,
secara manifest, mengikutsertakan sejumlah orang, di mana setiap
orang bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”-nya karena merekalah yang
membentuk dunia tersebut. Mereka memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk
sendiri.
Dari penjelasan di atas,
dap dapat diketahui bahwa pemahaman individu terhadap dunia sekitarnya dan
bagaimana perilaku individu yang dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya
merupaka sebuah proses dialektis yang terjadi terus menerus diantara mereka.
Selain itu, mereka tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, masing-masing dari
mereka juga berpartisipasi dalam keberadaan pihak lain (Bungin, 2001 :
19-20). Baru setelah mencapai taraf internalisasi semacam ini, individu
menjadi anggota masyarakat.
Realitas sosial yang dimaksud
oleh Berger & Luckmann terdiri atas tiga bagian dasar yaitu:
1. Realitas
Sosial Objektif.
Realitas
sosial objektif adalah gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
2. Realitas
Sosial Subjektif.
Realitas
sosial subjektif adalah realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang
berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik.
3. Realitas
Sosial Simbolik.
Realitas
sosial simbolik adalah bentuk – bentuk simbolik dari realitas sosial objektif,
yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi
media (Bungin,2011 : 24)
Setiap peristiwa
merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar
terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai
realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang
menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif
yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif
yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan
realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima
pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan
realitas sebagaimana adanya.
Konsep ketiga ini
memperjelas konsep yang dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yang hanya
menyebutkan adanya penggambaran realitas melalui proses sedimentasi dan
penjelasan sebuah realitas melalui proses legitimasi. Sedimentasi adalah proses
dimana beberapa pengalaman mengendap dan masuk ke dalam ingatan, memori ini
selanjutnya menjadi proses yang intersubjektif bila individu-individu yang
berbeda berbagi pengalaman dan gambaran yang sama.
Legitimasi memiliki
dua fungsi yaitu sebagai landasan untuk menginterpretasi realitas objektif dan
untuk membantu membuat interpretasi yang dapat diterima secara luas. Dalam
proses ini , individu tidak hanya membutuhkan “ a common stock of
knowledge “ (sedimentasi), tetapi juga harus belajar untuk menerima
dan menjalankannya sebagai sebuah kenyataan objektif sebagaimana adanya (Berger
& Luckmann, 1967).
Jika konstruksi
sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci,
negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi maupun militer yang
berada lebih tinggi dari masyarakat akan mendominasi kepemimpinan moral dan
intelektual secara konstektual. Sistem hukum pada negara-negara Barat telah
lama mengasumsikan bahwa individu tahu perilaku apa yang diharapkan oleh
penegak masyarakatnya dan bila mereka melanggarnya secara sengaja, merke akan
dihukum (Defleur & Ball- Rokeach). Inilah yang menjadi dasar
diberlakukannya hukum dan aparat
Penegak
hukum sebagai pengawas ketertiban dalam masyarakat.
B.
Teori Penetrasi Sosial (Sosial Penetration
Teory)
a.
Pengertian Teori Penetrasi Sosial
Teori Penetrasi sosial adalah
teori yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan.
Sebelum mengupas proses ini, kita harus terlebih dahulu memahami kompleksitas
manusia.
Teori Penetrasi Sosial
dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial
secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini
dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi
berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara
keduanya.
Altman dan Taylor
(1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu
hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan
dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels
of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.”
Altman dan Taylor
mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya
manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas
kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya.
Begitu pula kepribadian manusia.
Dalam perspektif
teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran
sebagai berikut:
Kita lebih sering dan
lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita.
Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting
dalam diri kita kepada orang lain, dari pada membicarakan tentang hal-hal yang
lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan
penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal
dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang
lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula.
Keterbukaan-diri
(self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap awal
dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah
pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini
bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam
wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat,
tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka. Dan juga semakin tidak bersifat
timbal balik.
Penetrasi akan cepat
di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam
lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu
semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan biasanya banyak dalam
hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil.
Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan
tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk
melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih
bermakna, dan lebih bertahan lama.
Depenetrasi adalah
proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu
hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh.
Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus,
tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap, dan semakin memudar.
Model
Social Penetration Theory (Altman & Taylor, 1973)
Ø
Tahap Pertama (Lapisan Pertama
Atau Terluar Kulit Bawang)
Lapisan kulit terluar
dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang
biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan
jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada
lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih
bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang
tertentu saja, orang terdekat misalnya. Maka informasinya bersifat superficial.
Informasi yang demikian wujudnya antara lain seperti nama, alamat, umur, suku
dan lain sejenisnya. Biasanya informasi demikian kerap mengalir saat kita
berkomunikasi dengan orang yang baru kita kenal. Tahapan ini sendiri disebut
dengan tahap orientasi.
Ø
Tahap Kedua (Lapisan Kulit Bawang
Kedua)
Tahap kedua (lapisan
kulit bawang kedua) disebut dengan tahap pertukaran afektif eksploratif. Tahap
ini merupakan tahap ekspansi awal dari informasi dan perpindahan ke tingkat
pengungkapan yang lebih dalam dari tahap pertama. Dalam tahap tersebut, di antara
dua orang yang berkomunikasi, misalnya mulai bergerak mengeksplorasi ke soal
informasi yang berupaya menjajagi apa kesenangan masing-masing. Misalnya
kesenangan dari segi makanan, musik, lagu, hobi, dan lain sejenisnya.
Ø
Tahap Ketiga (Lapisan Kulit
Bawang Ketiga)
Tahapan berikutnya
adalah tahap ketiga, yakni tahap pertukaran afektif. Pada tahap ini terjadi
peningkatan informasi yang lebih bersifat pribadi, misalnya tentang informasi
menyangkut pengalaman-pengalaman privacy masing-masing. Jadi, di sini masing-masing
sudah mulai membuka diri dengan informasi diri yang sifatnya lebih pribadi,
misalnya seperti kesediaan menceritakan tentang problem pribadi. Dengan kata
lain, pada tahap ini sudah mulai berani “curhat”.
Ø
Tahap Keempat (Lapisan Kulit
Bawang Keempat)
Tahap keempat
merupakan tahapan akhir atau lapisan inti, disebut juga dengan tahap pertukaran
yang stabil. Pada tahap tersebut sifatnya sudah sangat intim dan memungkinkan
pasangan tersebut untuk memprediksikan tindakan-tindakan dan respon mereka
masing-masing dengan baik. Informasi yang dibicarakan sudah sangat dalam dan
menjadi inti dari pribadi masing-masing pasangan, misalnya soal nilai, konsep
diri, atau perasaan emosi terdalam.
b. Asumsi Teori Penetrasi Sosial
·
Hubungan-hubungan
memiliki kemajuan dari tidak intim menjadi intim
·
Secara
umum, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi
·
Perkembangan
hubungan mencakup depenetrasi (penarikandiri) dan disolusi
·
Pembukaan
diri adalah inti dari perkembangan hubungan
Dalam teori ini Irwin
Altman dan Dalmas Taylor menyatakan empat tahapan proses penetrasi sosial.
v
Orientasi:
Membuka sedikit demi sedikit
Merupakan tahapan
awal dalam interaksi dan terjadi pada tingkat publik. Disini hanya sedikit dari
kita yang terbuka untuk orang lain.
v
Pertukaran
penjajakan afektif : Munculnya diri
Dalam tahap ini,
merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari
kepribadian seorang individu mulai muncul.
v
Pertukaran
afektif : Komitmen dan kenyamanan
Ditandai dengan
persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Dalam tahap ini, termasuk
interaksi yang lebih “tanpa beban dan santai”.
v
Pertukaran
stabil : Kejujuran total dan keintiman
Tahap terakhir ini
merupakan tahapan dimana berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan
dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan
keunikan hubungan yang tinggi.
c. Konsep
Teori
Altman dan Taylor
merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep
pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran
sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational
outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
Thibaut dan Kelley
menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang akan kita
dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita
melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-rugi. Jika kita
memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan jika kita
berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk membina
relasi lebih lanjut.
Kelemahan
dan Kekuatan Teori Penetrasi Sosial
§
Kekuatan
Teori Penetrasi Sosial
Salah satu kekuatan
dalam teori ini adalah fakta bahwa ia dapat digunakan untuk melihat wajah kedua
untuk menghadapi interaksi interpersonal serta interaksi online antara
individu. Kekuatan lain melibatkan kegunaan dari teori ini dalam memandang dan
menilai resiko dalam suatu hubungan interpersonal tergantung pada jenis
hubungan serta tingkat saat pengungkapan diri dan keintiman di dalamnya.
§
Kelemahan
Teori Penetrasi Sosial
Kelemahan
dari teori ini termasuk fakta bahwa faktor-faktor lain yang mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi pengungkapan diri tidak dinilai. Budaya dan karakteristik
demografi seperti jenis kelamin, ras, usia, dan banyak lagi, akhirnya mungkin
memiliki efek pada bagaimana seseorang memilih untuk mengungkapkan
informasi. Selain itu, juga mungkin sulit untuk menggeneralisasi informasi
yang dinilai menggunakan teori ini karena fakta bahwa pengalaman tertentu,
nilai-nilai, dan keyakinan dari seorang individu juga mungkin memiliki efek
pada cara di mana ia memilih untuk mengungkapkan informasi.
C.
Teori Pelabelan/Labeling Theory.
Teori pelabelan
kesepakatan kenakalan remaja dengan efek dari label, atau stigma, pada perilaku
remaja. Pelabelan teori menyatakan bahwa masyarakat, dengan menempatkan label
pada anak-anak nakal, stigmatizes mereka, yang menyebabkan label negatif untuk
anak muda untuk berkembang menjadi sebuah citra diri yang negatif. Sebuah
pengadilan hukum, beberapa lembaga lain, keluarga pemuda dan pengawas, dan /
atau rekan-rekan pemuda kita beri nama - atau "label" - untuk pemuda,
seringkali dalam "upacara degradasi”. Upacara ini mungkin mendengar
suspensi dengan kepala sekolah atau dekan sebuah sekolah, sebuah sidang
pengadilan, atau hukuman rumah, antara lain.
Pemuda yang diberi
label sebagai "penjahat" atau "nakal" dapat memegang
nubuatan ini sebagai self-fulfilling - percaya label yang lain menugaskan
kepada mereka, sehingga bertindak sebagai label. Seorang pemuda yang takluk
pada label kemudian dapat melanjutkan untuk bertindak sebagai suatu tindakan
"kriminal" atau sebagai "tunggakan," meninggalkan
norma-norma sosial karena ia percaya bahwa ia adalah orang yang buruk dan bahwa
ini adalah apa yang orang jahat yang seharusnya lakukan. Frank Tannenbaum
menyebut pelabelan sosial yang "dramatisasi kejahatan." Dia
berpendapat bahwa ini "mengubah identitas pelaku dari sebuah pelaku
kejahatan dengan orang jahat." Label dapat diterapkan secara resmi, oleh
lembaga-lembaga sosial (pengadilan, sekolah, dll) maupun informal, oleh kenalan
seorang pemuda itu, teman sebaya, dan keluarga. Label ini dapat menjadi
positif, atau negatif, dan bahkan bersosialisasi, tapi stigma yang memegang
konotasi negatif dan negatif dapat mempengaruhi remaja menjadi perhatian utama
teori pelabelan.
Self-penolakan,
sendiri-nubuat memenuhi, memainkan peran dalam teori pelabelan sosial.
"Self-menolak hasil sikap baik komitmen melemah terhadap nilai-nilai
konvensional dan akuisisi motif menyimpang dari norma-norma sosial". Rasa
anomie (normlessness) set dan remaja akan membentuk ikatan dengan
seperti-minded, tunggakan, rekan-rekan. Rekan ini tunggakan dapat menyebabkan
"di remaja's 'penolakan rejectors." Guru bodoh; 'polisi tidak jujur;'
orang tua hanya tidak mengerti " Para pemuda bermasalah menjadi menjauhkan
dari masyarakat dan menemukan dirinya dalam gaya hidup menyimpang. Pada
dasarnya, teori pelabelan sosial menyatakan bahwa remaja mulai percaya mereka
adalah orang yang melakukan hal-hal buruk dan diubah menjadi percaya mereka
adalah orang jahat.
Pertanyaan utama yang
perlu diperhatikan adalah apakah label teori masuk akal: apakah itu memiliki konsistensi
logis? Teori ini berpendapat bahwa ada ramalan di mana seorang remaja menjadi
negatif berlabel.
Teori Pelabelan
memiliki asal-usul dalam bunuh diri, sebuah buku oleh sosiolog Perancis Émile
Durkheim. Ia menemukan kejahatan yang tidak begitu banyak pelanggaran hukum
pidana karena merupakan tindakan yang outrages masyarakat. Dia adalah orang
pertama yang menunjukkan bahwa label menyimpang fungsi yang memenuhi dan
memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mengontrol perilaku.
Sebagai kontributor
ke American Pragmatisme dan kemudian anggota Sekolah Chicago, George Herbert
Mead mengemukakan bahwa diri secara sosial dikonstruksi dan direkonstruksi
melalui interaksi yang setiap orang memiliki dengan masyarakat. Teori label
menunjukkan bahwa orang-orang mendapatkan label dari bagaimana orang lain
melihat kecenderungan mereka atau perilaku. Setiap individu menyadari bagaimana
mereka dihakimi oleh orang lain karena ia telah mencoba berbagai peran dan
fungsi dalam interaksi sosial dan telah mampu mengukur reaksi yang hadir.
Hal ini secara
teoritis membangun konsepsi subjektif diri, tetapi yang lain menyusup ke dalam
realitas kehidupan yang individu, ini merupakan data yang obyektif yang mungkin
memerlukan sebuah evaluasi ulang dari konsepsi tergantung pada authoritativeness
penghakiman yang lain '. Keluarga dan teman-teman dapat menilai secara berbeda
dari orang asing acak. Lebih individu sosial yang representatif seperti petugas
polisi atau hakim mungkin dapat membuat lebih global penilaian dihormati. Jika
penyimpangan adalah kegagalan untuk mematuhi aturan-aturan yang diamati oleh
sebagian kelompok, reaksi kelompok ini adalah untuk label orang memiliki
tersinggung terhadap norma-norma sosial atau moral perilaku. Ini adalah
kekuatan kelompok: untuk menunjuk pelanggaran aturan mereka sebagai menyimpang
dan untuk memperlakukan orang secara berbeda tergantung pada keseriusan
pelanggaran. Banyak perbedaan perlakuan, semakin diri individu-gambar
terpengaruh.
Pelabelan
kekhawatiran teori itu sendiri kebanyakan tidak dengan peran normal yang
menentukan hidup kita, tapi dengan peran-peran masyarakat yang sangat khusus
yang menyediakan untuk perilaku menyimpang, yang disebut peran menyimpang,
peran stigma, atau stigma sosial. Peran sosial adalah satu set harapan kami
miliki tentang perilaku. peran sosial yang diperlukan untuk organisasi dan
fungsi dari setiap masyarakat atau kelompok. Kami berharap tukang pos,
misalnya, untuk mematuhi aturan-aturan tetap tertentu tentang bagaimana dia
melakukan tugasnya. "Deviance" untuk seorang sosiolog tidak berarti
secara moral salah, melainkan perilaku yang dikutuk oleh masyarakat. Perilaku
Deviant dapat mencakup kegiatan kriminal dan non-kriminal.
Peneliti menemukan
bahwa peran menyimpang kuat mempengaruhi bagaimana kita memandang orang-orang
yang ditugaskan tersebut peran. Mereka juga mempengaruhi bagaimana aktor
menyimpang memandang dirinya sendiri dan hubungannya dengan masyarakat. Peran
menyimpang dan label yang menyertainya berfungsi sebagai bentuk stigma sosial.
Selalu melekat dalam peran menyimpang adalah atribusi dari beberapa bentuk
"polusi" atau selisih yang menandai orang yang dilabeli sebagai
berbeda dari orang lain. Masyarakat menggunakan peran stigma kepada mereka
untuk mengontrol dan membatasi perilaku menyimpang: ". Jika Anda melanjutkan
dalam perilaku ini, Anda akan menjadi anggota dari sekelompok orang".
§
George Herbert Mead
Salah satu pendiri
interaksionisme sosial, George Herbert Mead difokuskan pada proses internal
tentang bagaimana pikiran konstruksi diri seseorang-gambar. Dalam Mind, Self,
dan (1934) Masyarakat, dia menunjukkan bagaimana bayi datang untuk mengetahui
orang pertama dan hanya kemudian datang untuk mengetahui hal-hal. Menurut Mead,
pikiran adalah suatu proses sosial dan pragmatis, berdasarkan model dua orang mendiskusikan
bagaimana untuk memecahkan masalah. Citra diri kita, pada kenyataannya,
dibangun dari ide tentang apa yang kita pikir orang lain sedang berpikir
tentang kami. Sementara kita mengolok-olok orang-orang yang terlihat berbicara
sendiri, mereka hanya gagal untuk melakukan apa yang sisa kita lakukan dalam
menjaga percakapan internal untuk diri kita sendiri. perilaku manusia, Mead
menyatakan, adalah hasil dari makna yang diciptakan oleh interaksi sosial dari
percakapan, baik yang nyata dan imajiner.
§
Frank Tannenbaum
Frank Tannenbaum
dianggap sebagai kakek dari pelabelan teori. Kejahatan Nya dan Masyarakat (1938),
menggambarkan interaksi sosial yang terlibat dalam kejahatan, dianggap sebagai
landasan penting kriminologi modern. Sementara kriminal berbeda sedikit atau
tidak sama sekali dari orang lain dalam impuls asli untuk pertama melakukan
kejahatan, account interaksi sosial untuk tindakan lanjutan yang mengembangkan
pola yang menarik bagi sosiolog.
Kerry Townsend
menulis tentang revolusi dalam kriminologi akibat kerja Tannenbaum's:
"Akar dari model
teoritis Frank Tannenbaum, yang dikenal sebagai" dramatisasi kejahatan
"atau teori pelabelan, permukaan di pertengahan sampai akhir tiga puluhan
Pada saat ini,. Perundang-undangan 'New Deal' tidak mengalahkan kesengsaraan
Depresi Besar , dan, meskipun berkurang, imigrasi ke Amerika Serikat lanjutan
(Sumner, 1994). Iklim sosial adalah salah satu dari kekecewaan dengan
pemerintah Struktur kelas adalah salah satu isolasionisme budaya; relativitas budaya belum diambil terus ' masih
adanya struktur kelas, meskipun reformasi kesejahteraan dan kontrol atas bisnis
besar, adalah salah lagi 'Sekolah Positivis dari kriminologi pikir masih
dominan, dan di banyak negara, gerakan sterilisasi sedang berlangsung.
Penekanan pada determinisme biologis dan penjelasan internal kejahatan adalah
kekuatan unggul dalam teori dari awal tiga puluhan ini dominasi oleh Sekolah
Positivis berubah. di akhir tiga puluhan dengan pengenalan dan penjelasan
konflik sosial dari kejahatan dan kriminalitas.
"Salah satu
prinsip utama teori ini adalah untuk mendorong akhir proses pelabelan. Dalam
kata-kata dari Frank Tannenbaum," jalan keluar adalah melalui penolakan
untuk menunjukan "jahat, sistem peradilan mencoba untuk melakukan hal ini
melalui program-program pengalihan. Pertumbuhan teori dan aplikasi saat ini,
baik secara praktis dan teoritis, memberikan dasar yang kuat untuk popularitas
lanjutan.
§
Edwin Lemert
Edwin Lemert (1951)
yang memperkenalkan konsep "penyimpangan sekunder." Penyimpangan utama
adalah pengalaman terhubung ke perilaku terbuka, mengatakan kecanduan obat dan
tuntutan praktis dan konsekuensi. penyimpangan sekunder adalah peran yang
diciptakan untuk menangani dengan kutukan masyarakat perilaku.
Dengan sosiolog lain
waktu, ia melihat bagaimana semua tindakan menyimpang adalah tindakan sosial,
hasil dari kerjasama dari masyarakat. Dalam mempelajari kecanduan narkoba,
Lemert mengamati kekuatan yang sangat kuat dan halus di tempat kerja. Selain
kecanduan fisik pada obat dan semua gangguan ekonomi dan sosial yang
ditimbulkannya, ada proses sangat intelektual di tempat kerja mengenai
identitas sendiri dan pembenaran untuk perilaku: ". Aku melakukan hal-hal
karena saya dengan cara ini".
Mungkin ada motif
subjektif dan pribadi tertentu yang pertama mungkin menyebabkan seseorang untuk
minum atau menguntil. Tetapi kegiatan itu sendiri memberitahu kita sedikit
tentang citra diri seseorang-atau hubungannya dengan aktivitas. Lemert menulis:
"perbuatan-Nya yang berulang dan teratur subjektif dan ditransformasikan
ke dalam peran aktif dan menjadi kriteria sosial untuk menetapkan status .....
Ketika seseorang mulai mempekerjakan perilaku menyimpang nya atau peran
berdasarkan itu sebagai alat pertahanan, serangan, atau penyesuaian untuk
terbuka dan masalah rahasia yang diciptakan oleh reaksi masyarakat akibat
kepadanya, penyimpangan nya adalah sekunder ".
§
Howard Becker
Sementara itu Lemert
yang memperkenalkan konsep-konsep kunci dari teori pelabelan, itu adalah Howard
Becker yang menjadi juara mereka. Dia pertama kali mulai menggambarkan proses
bagaimana seseorang mengadopsi peran menyimpang dalam studi musisi tari, dengan
siapa ia pernah bekerja. Ia kemudian mempelajari pembentukan identitas perokok ganja.
Penelitian ini adalah dasar dari Outsiders yang diterbitkan pada tahun 1963.
Karya ini menjadi manifesto gerakan teori pelabelan antara sosiolog. Dalam
pembukaannya, Becker menulis:
"Kelompok sosial
menciptakan penyimpangan dengan membuat aturan yang menciptakan pelanggaran
penyimpangan, dan dengan menerapkan peran-peran kepada orang-orang tertentu dan
label mereka sebagai orang luar. Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukan
kualitas dari tindakan orang yang melakukan, melainkan konsekuensi dari aplikasi
dengan lain dari aturan dan sanksi ke 'pelaku. " menyimpang ini adalah
salah satu kepada siapa label yang telah berhasil diterapkan;. perilaku
menyimpang adalah perilaku bahwa begitu label”.
Sementara
masyarakat menggunakan label stigma untuk membenarkan kecaman nya, aktor
menyimpang menggunakannya untuk membenarkan tindakannya. Dia menulis:
"Untuk meletakkan sebuah argumen kompleks dalam beberapa kata: bukan motif
menyimpang yang mengarah ke perilaku menyimpang, itu adalah sebaliknya, perilaku
menyimpang dalam waktu menghasilkan motivasi menyimpang”.
D.
Kesimpulan
Dalam memahami teori konstruksi
sosial Bergerian, ada tiga momen penting yang harus dipahami secara simultan.
Ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi, yang bagi Berger, memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai
satu proses yang berdialektika (interplay) satu sama lain. Masing-masing dari
ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari
dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia;
melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan
melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat (Berger, 1994:5).
Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada
di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam
(internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.
Hubungan antara manusia (sebagai
produsen) dan dunia sosial (sebagai produknya), tetap merupakan hubungan yang
dialektis. Manusia dan dunia sosialnya berinteraksi satu sama lain, dan produk
berbalik mempengaruhi produsennya. Eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi merupakan momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung
terus-menerus. Masyarakat adalah produk manusia (society is a human product);
masyarakat adalah kenyataan objektif (man is an objective reality); dan manusia
adalah produk sosial (man is a social product). Jika dalam proses ini ada satu
momen diabaikan maka mengakibatkan terjadinya distorsi. Teori tentang
masyarakat konstruksi sosial Bergerian melihatnya dari ketiga momen dialektik
itu.
Teori Penetrasi sosial adalah
teori yang membahas bagaimana perkembangan kedekatan dalam sebuah hubungan.
Teori ini dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Irwin Altman dan
Dalmas Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada
hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita
mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang
lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Dalam teori ini Irwin Altman dan
Dalmas Taylor menyatakan empat tahapan penetrasi sosial yaitu orientasi,
pertukaran penjajakan afektif, pertukaran afektif dan pertukaran stabil.
Labeling adalah sebuah teori dimana masyarakat
melakukukan pencapan kepada seseorang karena dia telah melakukan
perbuatan menyimpang atau teori
dimana masyarakat melakukukan pencapan kepada seseorang karena dia hidup di
lingkungan yang kurang baik sehingga dia mendpatkan cap dari masyarakat. Seseorang yang
dicap atau dilabeling dapat berubah atau mungkin bahwan akan merasa depresi
sehingga kembali melukan penyimpngan lagi.
Sumber Pelansiran:
·
Berger,
Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir
Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
·
Berger,
Peter L. & Thomas Luckmann 1992. Pikiran
Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia(diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization
and Consciousness). Yogyakarta: Kanisius.
·
Berger,
Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit
Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan
dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES.
·
Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian
Kualitatif: Paradigma, Epistemologi. Pendekatan, Metode, dan Terapan (Malang: IPTI dan UNM).
·
Jones, Pengantar Teori-teori Sosial –
Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Jakarta;
Yayasan Pustaka Obor Indonesia ,2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar